News Breaking
Live
wb_sunny

Cerita Hantu Kos

Merinding, Mitos Jalan yang Mengerikan di Sulawesi Selatan

Merinding, Mitos Jalan yang Mengerikan di Sulawesi Selatan



Di Indonesia, tetap ada kisah-kisah rakyat dengan turun-temurun yang tidak lapuk dikonsumsi jaman. Seperti yang sering diceritakan di Jeneponto serta Bulukumba.

Pada saat kecil, saya tetap diingatkan supaya tidak pulang malam tidak keluar waktu Maghrib datang. Orang-tua saya takut, serta tidak ingin tanggung jawab bila berlangsung apa-apa.

Saya terlahir jadi satu orang yang tukang jalan waktu mulai berkembang dewasa. Faktanya tidak lain sebab semenjak kecil, saya tidak dibolehkan melancong jauh dari rumah.

Waktu muda saya kurang menarik jika dalam soal berjalan-jalan keliling kota, wilayah. Toh, saat remaja, saya belum memiliki kendaraan. Ke sana-sini masih naik angkutan kota. Ada sich, rekan saya yang tetap membonceng, tetapi bila terus menerus takut malu.

Lantas saat kuliah, saya pada akhirnya memiliki motor pribadi. Ibu membelikan saya. Waktu itu, saya mulai jarang-jarang pulang ke rumah, serta makin banyak di luar.

Ibu pahami. Beberapa orang tua di dalam rumah saya pahami. Toh, sebab terhalang materi, saya baru dibelikan motor. Itu juga sisa. Larangan mereka pun tidak seketat waktu saya kecil.

Saya jadi hoby ke wilayah, seperti tour. Dapat sendiri, juga bisa berdua. Tujuan saya, dua motor. Jadi kami berempat di jalanan. Dewasa pun tidak seluruhnya saya capai. Karena ada beberapa pesan yang terkadang buat gusar ibu saya.

Begini…

Saat itu saya akan pergi pada sore hari. Pulang kampung. Saya berkemas serta bawa tas gembung dengan beberapa carik baju, sikat gigi, dalaman, shampo.

“Mau ke mana?”

Saya jawab ke Kajang.

“Eh, ini mau malam. Awas itu kelak di Jeneponto, di kelokan tajam, bahaya. Seringkali ada perampokan.”

“Itu di Palangisang (kutub Bulukumba-Kajang) angker itu. Berhati-hati kelak melalui sana. Ingat, baca doa sebelum pergi.”

Saya membatin. “Perampokan apa sich?” Setahu saya, di Jeneponto, belum pernah ada pencolengan besar. Ditambah lagi sampai hentikan mobil truk kata ibu.

Mungkin saya yang terlambat lahir. Di berita-berita, tidak pernah ada ada perampokan di kelokan itu. Tidak ada, tetapi kecelakaan saja. Kemungkinan pengendara kurang awas.

Dengan langkah tentu, saya keluar dari rumah. Pamit. Rekan saya menanti di luar. Kami berdua akan pergi. Tour kecil-kecilan. Demikianlah ya.

Kami tidak perlu waktu lama untuk sampai di Jeneponto. Kira-kira 2 jam perjalanan dari Makassar. Kami keroncongan. Dari barusan memang suara perut telah keras.

Kami berkunjung beli lemang atau lammang dalam bahasa konjonya. Dalam suatu warung yang atapnya dari daun rumbia, kami makan dengan lahap. Sangat nikmat. Ditambah lagi bila digabung dengan telur asin. Sipa’na.

Kami menanyakan pada pedagang lemang itu. “Betulkah di kelokan tajam atau kelokan keramat ada perampokan, Bu?”

“Ah, belum pernah saya dengar itu, karaeng. Yang ada hanya orang kecelakaan. Dari narasi orang di sini, bukit keramat itu angker. Umumnya ada ular besar yang lewat jika melalui malam.”

Jadi orang yang kurang yakin dengan narasi di atas serta telah meniatkan diri untuk pulang ke Kajang, saya tidak memusingkan. Penting, saya tetap harus berhati-hati berkendara.

Hanya di-iya-in saja kalimat ibu pedagang lemang. Kami pamit selanjutnya meneruskan perjalanan kembali.

Sampai di bukit keramat, tidak ada narasi yang kami temukan masalah mistisnya. Bukan congkak, tetapi berhati-hati memang jadi kuncinya. Malam hari kami melalui sana. Terjal sich iya, tetapi tidak ada perampok atau ular seperti narasi yang diembuskan.

Lantas 2 jam berlalu. Kami pada akhirnya sampai di Allu, Palangisang. Telah jam 10.00. Kami banyak menepi. Minum kopi, makan lemang, serta berpose.

Udara dingin. Pohon di kiri-kanan kami banyak. Jalanan telah sepi. Kami berkendara seperti masuk dalam remang rimba. Gelap sekali.

Banyak sekali pohon karet. Tetapi, tidak ada keanehan yang kami rasakan tidak hanya dingin sepi. Sepanjang 45 menit dari Allu, pada akhirnya kami sampai di dalam rumah, di Kajang.

Orangtua di kampung mengatakan, “bahaya. Kok berani jalan malam kesini? Umumnya ada anak kecil di tanjakan dekat jembatan di Palangisang.”

Saya tidak menggubrisnya, sebab memang saya tidak lihat apa-apa. Kami anteng-anteng saja menceritakan. Mungkin itu hanya pesan yang dibikin beberapa tetua tidak untuk keluar serta pulang tengah malam. Atau barangkali saja saya memang tidak merasakan, bisa saja orang lain pernah.
loading...
//t+1);for(let r=0;r

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment