Viral! Cerita Pencari Kodok Bergumul dengan Roh Halus



Larut malam yang pekat, langkah kakiku berhenti di pematang sawah di Selatan Kota Purworejo, Jawa Tengah. Kerlip lampu rumah terlihat jauh dari mataku. Di sekitarku dingin menyelimutiku.

Lampu penerangan bertenaga accu, rasa-rasanya tidak dapat membelah pekat. Tas selempang menggelayut di bahu dengan isi sedikit. Ada perasaan merinding menggodaku. Kakiku perlahan-lahan gemetar. Diikuti rasa mual di perut. Ini ialah tanda-tanda, saya harus mundur.

Pengalamanku membelah tempat yang konon disebutkan angker atau berhantu, seringkali berbuntut demikian. Saya bukan pelacak hantu. Yang kucari ialah hewan amfibi yang dipandang haram buat sekumpulan orang, tetapi dipandang makanan lezat buat barisan yang lain. Iya, kodok hijau.

Binatang namanya latin Fejervarya cancrivora ini, di tahun 2000 jadi sumber penghasilanku. Saat itu, 1 kg dihargai Rp25 ribu. Cukup untuk beli pupuk urea atau ongkos mesin traktor, pembajak sawah garapanku. Dari uang itu juga, terkadang kugunakan untuk beli bibit tanaman buah untuk kebun yang tidak berapa luas.

Cari kodok bukan pekerjaan elite, tidak pantas dicontoh. Lebih baik memercayakan ketrampilan lain. Dapat jadi pedagang atau pekerjaan berprestise yang lain. Tetapi riil, karier ini pernah kujalani sepanjang dua tahun.

Pemburu kodok harus membelah wilayah wingit atau berhantu. Sebab, dalam tempat itu sering banyak kodok induk besar. Wilayah wingit umumnya di tepi desa, tepian dengan sawah atau kali. Di situlah mereka ada.

Malam hari ini, lengkaplah gelisahku. Ada saja. Aroma dingin sekarang ditambah aroma seperti asap orang membakar singkong. Saya mengenal benar. Ini tanda-tanda ada ular atau terkadang roh dari dimensi lain lewat di sekitarku. Terserah orang lain yakin atau mungkin tidak. Tetapi, saya putuskan mengalah.

Kuayunkan kakiku secara cepat. Jika telat, saya kawatir tubuhku semakin limbung serta tidak sadarkan diri. Itu tidak bisa berlangsung. Efek semacam itu, paling ditakuti rekan-rekanku pelacak kodok. Sukur, saya juga belum pernah merasakan.

Terdapat beberapa narasi mistis dari kawan-kawanku. Mereka memberi pesan supaya janganlah sampai berjumpa dengan tipe hantu banaspati. Dia berbentuk bola api melayang-layang di angkasa. Umumnya suka pada rimbunan pohon bambu. Jika hinggap di badan kita, hanguslah telah.

Banyak insiden aneh yang lain. Tetapi dari banyaknya itu, cuma beberapa saja kutemui. Pernah, waktu larut malam kudengar suara bayi menangis ditengah-tengah sawah, saya pilih menghindar.

Tetapi pada saat lain, kujumpai bayangan putih seperti kuntilanak. Dengan keberanian penuh kudatangi ia. Nyatanya seorang kakek sedang tirakat di samping air terjun. Dia sedang bersemedi. Lantas kusapa, “Permisi, Mbah!” Dia juga menyahut. Dia benar-benar manusia.

Langkah kakiku nyatanya mengantar tubuhku ke tempat bersejarah yang namanya Perigi (berarti mendatangi). Tempat persisnya ialah di Desa Banyuurip, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Dari narasi lisan beberapa sesepuh desa, kuketahui sejarahnya. Konon seputar era ke-15, tempat ini dikunjungi kakak beradik. Mereka ialah putera serta puteri dari selir Raja Majapahit. Namanya Pangeran Jayakusuma serta adiknya Galuhwati.

Mereka diusir dari Majapahit oleh ayahanda mereka. Saat itu, Jayakusuma serta Galuhwati tidak ingin ikuti rapat keraton, tapi justru asik bermain burung puyuh atau gemak. Ayahanda geram serta menyingkirkan mereka dari keraton.

Mereka juga berjalan jauh terseok-seok mengarah Barat. Sampai sampailah ke tempat ini. Galuhwati terserang demam serta kehausan. Pangeran Jayakusuma selanjutnya menanamkan keris pusakanya, Kyai Panubiru, serta keluarlah mata air. Sebab mata airnya membual, karena itu disebutlah sumur atau beji Banyuurip (air hidup).

Dalam tempat ini juga, Pangeran Jayakusuma membangun bangunan rumah. Orang selanjutnya banyak yang datang memberikan pujian pada kedahsyatan sang pangeran. Bisa saja, beberapa benda yang sekarang ada serta tetap teratur diberi sesaji ialah beberapa benda ritual atau benda setiap hari yang dipakai Pangeran Jayakusuma.

Benda itu diantaranya berbentuk satu yoni, empat buah batu untuk duduk pangeran, batu lutut pangeran, batu dakon, serta batu lumpang (alat untuk tumbuk). Di seputar beberapa benda ini, ada sisa pembakaran dupa, kembang, serta sesaji.

Sekarang, dalam tempat ini dibuat aula. Umumnya digunakan ritual minta keselamatan. Di aula berikut kurebahkan diriku malam hari ini. Kemungkinan sekarang telah seputar jam 2.00 WIB. Biarkanlah tubuhku mengalah serta mengaso dalam tempat ini. Kupersatukan pada kemampuan alam.

Dibawah lampu aula, kupejamkan mataku. Kuberserah serta mengucapkan syukur untuk karunia kehidupan. Mengucapkan syukur atas karunia kodok yang malam hari ini sedikit kudapat. Jangan serakah. Mudah-mudahan hari depan didapat rejeki lebih baik dari ini hari.