Gunung Lawu, 3.265 mdpl, ada di tepian Jawa Tengah (Karanganyar) serta daerah Jawa Timur (Magetan). Gunung Lawu salah satu gunung favorite beberapa pendaki sebab keindahan jalurnya—sabana—dan cerita-cerita (mistis) yang bertumbuh mengenainya. Ke arah titik awal pendakian Gunung Lawu dapat memakai bus antarprovinsi atau kereta dengan waktu pintas kira-kira 10 jam.
Awal September 2016 waktu lalu saya bersama dengan sepuluh rekan mewujudkan pendakian ke Gunung Lawu. Perjalanan kesempatan ini benar-benar menyenangkan, karena banyak yang hebat untuk dikisahkan.
Jadi, sepulang kerja saya langsung ke arah Stasiun Pasar Minggu, transit untuk ke Kemayoran. Sebab tidak bisa ticket kereta bikin berangkat—kami hanya memiliki ticket pulang—kami putuskan untuk naik bus malam Damri yang pool-nya ada di Kemayoran, yang sekaligus jadikan rapat poin.
Ceritanya saya dibawa oleh seorang rekan, Adam Arwi namanya. Saya baru kenal rekan-rekan yang lain waktu di Damri Kemayoran. Bang Irwan yang diambil jadi leader. Bersama dengan Bang Irwan, Bang Deno Saputra, Fimansyah, Adam Arwi, Bang Heru, serta Jane Jana, saya pergi dari Jakarta untuk berjumpa rekan-rekan pendaki yang telah menanti di Terminal Tirtonadi, Solo.
Sebab long weekend, jumlahnya penumpang melompat cepat. Serta kelirunya, kami tidak beli ticket bus beberapa waktu awalnya. Rekan lelaki kesana kesini cari ticket, sesaat saya serta Jane jaga tas sekalian bertukar narasi.
Sesaat selanjutnya mereka kembali dengan muka muram karena kehabisan ticket bus. Sebab waktu itu perut keroncongan, kami isi perut dahulu sekalian pikirkan langkah bikin pergi ke Solo. Sedang asik makan pecel lele di samping pool Damri sekalian bercakap masalah keberangkatan, ada seorang bapak-bapak memiliki rambut gondrong serta bertubuh tinggi turut nimbrung. Serta ia tawarkan untuk mengangkat kami dengan mobilnya. Kebetulan dia akan ke arah Solo bersama dengan istrinya.
Perjalanan tidak semulus yang kami fikir
Sesudah deal-dealan biaya, kenalah kami biaya getok: Rp 180 ribu orang. Berangkatlah kami ke Solo dengan mobil sedan punya bapak gondrong itu. Meskipun berdempetan di mobil, kami tidak perduli. “Ah, elah. Yang perlu sampai,” fikir kami.salah masuk tol, ban gembos di Tol Cipali, pada akhirnya keluar dari tol entahlah di desa serta wilayah mana yang sepi serta gelap, kanan kiri rimba yang benar-benar minim penerangan, dan—entah kenapa—lampu depan mobil mati serta kami meraba jalan dengan pertolongan pantulan lampu dari kendaraan lain (jika ada kendaraan yang melalui bermakna aman, jika tidak ya gelap-gelapan serta kami semua hanya dapat komat-kamit saja memanjatkan doa agar janganlah sampai masuk jurang). Untungnya, pada akhirnya kami temukan bengkel yang hampir tutup. Bapak montir yang baik hati ingin membantu kami untuk isi freon AC, mengubah lampu depan mobil, serta mengecek ban. Saat pada akhirnya kami melanjutkan perjalanan, bapak gondrong lupa arah masuk pintu tol!
Sebelnya naik mobil pribadi ya semacam ini: waktu datang seenaknya. Akhirnya jam 8 pagi baru pada akhirnya kami datang di daerah Solo.
Dengan sok tahu kami meminta diantar ke terminal kecil yang kami anggap jadi terminal bis. Sebenarnya, terminal itu cuma terminal bayangan saja tempat angkutan desa serta bus tiga per empat lalu-lalang cari penumpang. Sesudah menanyakan sana-sini, baru kami ketahui jika nyatanya Terminal Tirtonadi masih jauh. Harus naik bus tiga per empat 30 menit lamanya. Rasa-rasanya waktu itu ingin nangis: Kok ada-ada saja hambatannya?
Kami juga naik bus ke arah Terminal Tirtonadi dengan biaya Rp 5000 per orang. Alhamdulillah, pada akhirnya datang di Terminal Tirtonadi jam 11 siang. Disana telah ada dua orang yang menanti, yaitu Kak Tanty serta Mas Pram dari Semarang.
Kejanggalan mulai ada
Sesudah ganti narasi masalah perjalanan, serta isi perut tentu saja, kami langsung ke arah jalan pendakian Gunung Lawu lewat Candi Cetho. Perjalanan ditempuh seputar 2 jam. Pemandangannya indah. Kebun teh terhampar di kanan-kiri jalan, ada bukit-bukit yang tinggi menjulang, pohon-pohon pinus kuat berdiri di tepi jalan. Waktu melewati jalan ini, janganlah lupa bikin buka kaca mobil. Udara segarnya sayang untuk ditinggalkan demikian saja. Intinya, yang awalannya mengantuk tentu akan melek terus demikian lihat panorama epic ini.
Kami juga datang di dalam rumah pemilik mobil yang menjemput kami di Solo. Terletak di kaki Gunung Lawu, dekat sekali dengan Candi Cetho. Panorama di muka tempat tinggalnya …. jangan diberi pertanyaan: “Masyaallah, dah! Indah bener!”
Di base camp pendakian Candi Cetho, pendaftaran diurus oleh leader kami, Bang Irwan. Sesaat dia mengatur simaksi, perizinan, serta di-briefing, kami cuma menanti sekalian selfie.
Sesudah selesai urus-mengurus, kami berdoa selanjutnya mulai mendaki. Saat itu seputar jam 5 sore. Kami memperoleh dua rekan baru dari Semarang, yakni Mas Mencen serta Mas Gondrong. Jadilah kami bersebelas mendaki bersamanya.
Waktu itu cuaca benar-benar berteman. Burung-burung rimba serta jalak mengeluarkan bunyi menegur serta ikuti kami. Tidak hanya Candi Cetho, nyatanya ada satu candi di jalan pendakian yang cukup ramai oleh pelancong. Namanya Candi Kethek.
Seputar 30 menit dari Candi Kethek, kami datang di Pos 1. Sebab waktu itu magrib, kami berhenti sesaat sebelum meneruskan perjalanan ke Pos 2 untuk salat magrib sekaligus juga istirahat menanti isya. Dari Pos 1 ke Pos 2 butuh seputar 45 menit. Pada akhirnya kami meng-qada salat magrib dengan isya. Nah, dari sini insiden ganjil ada.
Jujur, waktu usai salat sebagian dari kami—termasuk saya—buang air kecil di belakang, yang jaraknya cukup dari Pos II. Waktu itu kami tidak rasakan apa saja. Seperti sebelum-sebelumnya, kami sopan santun bila akan buang air kecil. Kami permisi serta ucapkan salam serta rasa terima kasih.
Melalui Pos 2, perasaan masih biasa saja. Belumlah ada kejanggalan benar-benar. Hingga kemudian sesudah 10 menit tinggalkan Pos 2 Bang Deno terhentak. Dia seperti terkejut serta berhenti. Tetapi ia tidak menceritakan apa saja serta hanya lanjut berjalan.
Kaki saya saat itu berasa berat sekali. Sulit sekali untuk digerakkan. Saya masih berpikiran positif untuk tidak pikirkan hal-hal lain. Selama perjalanan saya lihat makhluk gaib seliweran. Banyak yang saya lihat. Namun—lagi-lagi—saya coba berpikir positif saja.
Rekan-rekan menduga saya terkena hipotermia
1/2 perjalanan, saya terus muntah-muntah. Pada akhirnya saya terjatuh. Saya dipapah untuk berjalan sesaat sampai Pos 3 yang tidak jauh dari tempat saya jatuh. Di Pos 3, rekan-rekan istirahat serta saya meluruskan badan saya sesaat, lantas …. saya tidak ingat apa saja .
Tetapi, menurut narasi semua rekan-rekan pendakian, saya selanjutnya tertidur. Waktu rekan-rekan telah usai masak mie instant, Adam coba membangunkan saya. Tetapi saya tidak bangun-bangun hingga kemudian rekan-rekan semua panik—setengah badan saya telah dingin sekali.
Waktu itu rekan-rekan menduga saya terkena hipotermia. Lantas Kak Tanty serta Jane Jana mengubah baju saya, membungkus saya dengan sleeping bag, sarung, serta memeluk saya sekalian membangunkan saya berkali-kali. Tetapi saya benar-benar tidak bereaksi. Menurut narasi rekan-rekan, napas saya hilang muncul serta tipis sekali. Tubuh saya juga dingin serta muka pucat sekali.
Rekan-rekan benar-benar takut saya kenapa-kenapa. Kak Tanty serta Jane Jana juga menangis membangunkan saya. Rekan-rekan ada yang membacakan Surat Yasin sekalian terus berupaya membangunkan saya, hingga kemudian Bang Deno menggenggam serta memeluk saya. Sebab ia juga paham beberapa hal gaib, ia katakan ke kawan-kawan jika ada yang ikuti saya.
Bang Deno terus coba membangunkan saya, tetapi saya tidak bereaksi. Seringkali ia memberi napas bikinan tetapi tidak ada reaksi juga. Pada akhirnya, entahlah apa yang dikerjakan oleh Bang Deno, saya juga tersadar serta muntah berulang-kali. Saya juga terkejut serta bingung lihat rekan-rekan yang menangis serta ketawa lega lihat saya bangun. Saya hanya dapat melongo sebab tidak ingat apa saja.
Tetapi, yang saya ketahui, barusan saya mimpi berjumpa tiga orang pendaki. Seorang lelaki serta dua wanita yang diantaranya berkerudung. Yang saya ingat, si lelaki ini ingin meminta tolong pada saya, sesaat si wanita berhijab minta saya dengarkan ceritanya. Wanita satu cuma tersenyum-senyum serta berkali-kali terpingkal-pingkal.
Waktu saya siuman, tidak seorang juga rekan yang ingin menceritakan. Jika saya bertanya—“Pada mengapa, sich? Ada apaan?”—mereka cuma senyum-senyum tetapi bungkam.
Sebab telah jam 11.30 malam, kami pilih untuk kemah di Pos 3 saja serta tunda pendakian sampai besok pagi. Waktu itu saya masih bingung: mereka jaga saya seperti jaga seorang terpidana. Saya satu tenda dengan Adam, Kak Tanty, serta Bang Irwan. Meskipun mata belum mengantuk, mereka minta saya untuk tidur.
Bertemu “sesuatu” diperjalanan ke arah Pos 4
Pagi harinya kami bangun jam 7 pagi. Sesudah sarapan serta bersiap, kami mulai berjalan ke pucuk. Sebelum perjalanan diawali, berkali-kali saya dinyatakan sehat oleh rekan-rekan. Serta saya memang merasakan tidak kenapa-kenapa. Saya tidak sakit—apa yang perlu di kuatirkan?
Pendakian ke arah pucuk juga diawali. Tentu saja ditemani segarnya udara serta kicauan burung—entah itu burung apa. Nah, waktu ke arah Pos 4 yang tanjakannya super curam—kanan-kiri pohon-pohon tandus seperti habis terbakar—ketika saya mendongak akan menggenggam akar pohon, saya terkejut sekaget-kagetnya lihat tiga muka orang dalam kondisi terkelupas serta hancur seperti orang kecelakaan.
Saya jatuh serta spontan menangis ketakutan, tidak mau melanjutkan perjalanan ke atas. Adam mengalah. Ia turut turun temani saya, sesaat yang lain masih kekeuh ke arah pucuk. Kami berpisah di Pos 4. Sebetulnya saya sendiri juga tidak permasalahan turun sendiri. Tetapi Adam begitu cemas sama saya hingga turut turun. Selama perjalanan turun, Adam tidak henti bicara serta melucu. Tuturnya, sich, agar pemikiran saya tidak kosong.
Tibalah di Base Camp Reco (Relawan Ceto) serta berjumpa dengan Pakde Anggoro serta Mas Kris. Pakde Anggoro yang menyongsong saya di base camp. Dia seperti sudah mengetahui apa yang saya alami.
Dia tersenyum saja. “Piye, Nduk? Sehat?” dia menanyakan. Saya yang kecapekan cuma membalas senyumnya sekalian katakan saya tidak berhasil sampai pucuk. Dia cuma tersenyum lantas merangkul saya untuk menceritakan.
Tetapi Adam yang terlebih dulu menceritakan. Selanjutnya baru Pakde Anggoro menanyakan apa yang saya ingat. Saya katakan mengenai ke-3 pendaki yang saya “temui” itu—tiba-tiba saya spontan menyebutkan nama “Kartini.”
Narasi mengenai kebakaran hebat di Lawu
Nyatanya, menurut narasi Pakde Anggoro, dahulu berlangsung musibah yang benar-benar menyeramkan, yakni kebakaran Gunung Lawu di Jalan Cemoro Sewu serta Cetho. Namun sisi Cetho hanya terkena sedikit, yaitu di seputar Pos 4.Menurut ceritanya, yang meninggal dunia ada sembilan orang lebih. Ada empat korban kebakaran yang benar-benar sulit untuk diidentifikasi jasadnya. Pakde Anggoro menceritakan mereka memang biasa memperlihatkan wujudnya untuk ajak pendaki hubungan atau sebatas ada saja. Banyak yang tidak kuat, sampai kesurupan, drop, sakit, serta ada wanita asal Tegalrejo yang kesurupan dari atas sampai base camp lantas sebab tidak kuat pada akhirnya wafat.
Saya pribadi tidak tahu sedikit juga mengenai Tragedi Lawu. Yang saya pernah baca hanya masalah si Nenek-Minta-Gendong serta Pasar Setan yang mewajibkan kita untuk melempar uang berapa saja banyaknya jika ada suara mengeluarkan bunyi “Tumbas opo?” (“Beli apa?”) ditengah-tengah alunan gamelan serta riuh-rendah seperti di pasar.
Nyatanya ada banyak misteri Lawu yang sedikit dikisahkan. Beliau cuma geleng-geleng kepala saja. Pada akhirnya ia memancing “penglihatan” saya untuk menerawang apa yang berada di wilayah Bulak Peperangan serta Pasar Dieng. Dengan jelas saya bercerita apa yang saya lihat waktu itu—dan dibetulkan oleh Pakde Anggoro.
Sebab makin ingin tahu, ia juga menanyakan mengenai bangunan di dekat base camp. Kembali lagi saya bercerita apa yang saya lihat.
“Kepiye to wis dikandani ra dirungokke,” kata Pakde Anggoro. Nyatanya menurut si Pakde, tempo hari sebelum kami mendaki, waktu briefing Pakde telah mengingatkan seharusnya jangan nanjak dengan jumlahnya ganjil. Ia pastikan apa kami percaya ingin mendaki jam 5 sore, mengapa tidak pagi atau siang, atau malam sekaligus.
Sebetulnya jika dipikir benar , sich. Sebab mulai nanjak nanjak jam 5 sore, kita akan berjumpa dua waktu salat yang benar-benar singkat, yakni magrib serta isya. Jam-jam begitu memang waktu turunnya sandekala (setan)—menjelang maghrib.
Pada akhirnya Pakde minta saya untuk mandi di sendang di Puri Saraswati. Tetapi saya menampik. Pada akhirnya saya cuma bersihkan muka, bersihkan tangan, serta bersihkan kaki.
Setiba di muka pintu sendang, saya lihat sesosok wanita cantik, tetapi kelihatan galak serta bertubuh seperti ular. Saya terkejut. Lantas Pakde menanyakan, “Melihat apa?” Saya katakan jika saya lihat wanita itu. Lantas, sambil menunduk serta menelungkupkan tangannya, ia cuma mengatakan pada saya, ”Jangan takut. Mari masuk membersihkan badanmu.” Saya menurut saja lantas saya bersihkan muka, kaki, serta tangan. Semasing 3x. Kemudian saya lemparkan uang koin seikhlasnya ke kolam sekalian mengharap yang paling baik.
Yakin atau mungkin tidak, kemudian saya merasakan tubuh saya yang awalnya tidak karuan jadi tambah lebih tenang—dan mudah. Seperti apa, ya, rasa-rasanya? Plong saja, demikian. Ya, terserah, sich, ingin yakin atau mungkin tidak.