Legenda Urban Mendekati Maghrib, Lampor serta Sandakala



Tuturnya, ini didasarkan pada insiden sebetulnya. Satu pengalaman waktu kecil sang sutradara, Guntur Soeharjanto, yang teratur dilarang orang tuanya keluar rumah mendekati waktu magrib.

Adinia Wirasti mengemukakan itu saat pertemuan wartawan film Lampor di Kota Cirebon, Sabtu (19/10/2019).

Ia hadir bersama dengan tiga rekanan mainnya sama-sama aktor, semasing Dion Wiyoko, Angelia Livie, serta Dian Sidik.

"Jadi ini pengalaman Mas Guntur (sutradara) yang tidak bisa keluar rumah cocok Maghrib. Jika keluar (rumah), kelak digondol (diambil/dibawa) Lampor," kata Adinia, pemeran Netta dalam film Lampor Keranda Terbang.

Pengalaman Guntur mungkin dirasakan juga sejumlah besar orang dewasa yang lain saat melihat waktu kecil semasing. Larangan orangtua berkeliaran di luar rumah mendekati petang, minimal masuk waktu Maghrib, jadi diantaranya.

Guntur sendiri memberikan catatan dalam launching yang diberikannya. Lampor, ia kisahkan, adalah keranda Terbang yang hadir saat malam hari.

"Ia (Lampor) datangnya malam hari, berbentuk keranda terbang, dibarengi suara pasukan bernada magic welwoo..welwoo..welwoo," tuturnya, diambil Ayocirebon.com dari launching.

Lampor bercerita sekitar kehidupan pasangan suami istri Edwin yang dimainkan Dion Wiyoko serta Netta (Adinia Wirasti), bersama dengan dua anak mereka, Adam (Bimasena) serta Sekar (Angelia Livie).

Mereka pulang ke kampung halaman Netta di Temanggung, Jawa Tengah. Pulangnya mereka diterima keraguan beberapa tetangga Netta sebab bertepatan dengan intimidasi Lampor yang menempa kampung itu.

Dalam film produksi Starvision ini, Lampor dilukiskan jadi setan pencabut nyawa yang membawa juga keranda terbang. Nyawa Adam serta Sekar juga terancam saat Lampor membidik keduanya.

Sesaat, searah cerita ini, Edwin juga tahu rahasia yang melingkupi Netta.

Buat Adinia, legenda urban sebagai fundamen narasi ini adalah daya tarik film Lampor Keranda Terbang.

"Ditambah lagi ini didasarkan insiden riil yang dirasakan Mas Guntur (sutradara). Di film ini dipertunjukkan nilai-nilai keluarga yang masih bertahan di warga kita," katanya.

Sesaat, Dion Wiyoko merasakan ciri-ciri tokoh dan beberapa aktor yang terjebak di dalamnya sudah menarik ketertarikannya.

"Umumnya syutingnya malam, jadi harus menjaga stamina. Daya terkurang sebab masih ada scene fighting, tetapi saya santai sebab disana situasinya sejuk serta bersih," katanya memvisualisasikan situasi tempat syuting di seputar Gunung Sindoro Sumbing.

Keseluruhannya, film yang prosedurnya memerlukan waktu seputar 1,5 bulan ini ambil tiga tempat syuting. Tidak hanya Temanggung, wilayah lain yaitu Kendal serta Yogyakarta.

Buat Dian Sidik, Lampor Keranda Terbang jadi film berjenis horor pertama yang diperaninya.

"Saya tertarik sebab sinopsis narasi beberapa pemain di dalamnya," tutur pria yang diketahui sering bermain dalam film pertandingan ini.

Tidak sama dengan Dion, Adinia, serta Dian yang tidak akui tidak rasakan pengalaman 'horor' sepanjang syuting, aktris cilik Angelia Livie malah sering lihat 'penampakan' di seputar tempat syuting.

Tidak itu saja, gadis kecil ini juga menceritakan pengalaman menariknya jatuh dari keranda yang digunakan jadi property film.

"Sempat jatuh dari keranda serta itu sakit sebab tidak ada matras di bawahnya. Tetapi tidak apa-apa," katanya riang.

Lampor sendiri adalah salah satunya legenda urban yang hidup ditengah-tengah warga Jawa Tengah. Ia adalah representasi nilai-nilai kearifan lokal yang mewajibkan beberapa anak tidak berkeliaran semenjak dekati matahari terbenam.

Di Cirebon, legenda urban semacam Lampor minimal mewujud dalam tiga makhluk mitos, semasing Wewe Gombel, Sandakala, serta Bengaok.

Budayawan Cirebon, Nurdin M Noer mempunyai cerita hampir sama dengan Guntur. Saat kecil, ia juga sering 'ditakut-takuti' orang tuanya akan kedatangan ke-3 makhluk itu jika masih berkeliaran di luar rumah mendekati petang.

"Din, gage balik, engko digondol Sandakala (Din--panggilan Nurdin, cepat pulang, kelak dibawa Sandakala," papar Nurdin menirukan peringatan orang tuanya dahulu di waktu kecil.

Tidak cuma Sandakala, saya Nurdin pada Ayocirebon.com, Senin (21/10/2019), sang nenek juga sering lakukan hal sama dengan menyebut-nyebut nama Bengaok.

Konon, Bengaok adalah makhluk gaib berbentuk burung hantu. Saat petang mendekati, jika terdengar suara burung yang bunyinya seperti dengan namanya, Bengaok, beberapa orang tua di waktu Nurdin kecil, akan menakut-nakuti Bengaok akan menculik sang anak yang masih berkeliaran di luar rumah.

Tidak ubahnya Sandakala serta Bengaok, Wewe Gombel juga disebut 'beroperasi' di waktu yang hampir serupa. Makhluk gaib yang konon sejenis betina (Nurdin menghindarkan penyebutan wanita sebab dinilai tidak elok) serta masih berkeliaran sampai malam dengan misi menculik anak kecil.

Wewe Gombel, Bengaok, serta Sandakala, dulu sering disebut beberapa orangtua di Cirebon terutamanya.

"Tujuannya sich baik, agar beberapa anak itu mengakhiri waktu bermainnya, pulang ke rumah untuk salat, mengaji sampai waktu Isya, selanjutnya kerjakan pekerjaan sekolah serta tidur untuk istirahat," tutur Nurdin yang Ketua Instansi Basa kan Sastra Cirebon ini.

Tetapi sekarang, legenda urban itu telah tidak banyak didengar. Beberapa orangtua sekarang tidak memakai strategi menakut-nakuti beberapa anak mereka supaya pulang ke rumah mendekati Maghrib.

Nurdin sendiri, yang disebut ayah dari dua anak akui, semenjak anak pertamanya kecil, tidak pernah menyebut-nyebut nama Sandakala, Wewe Gombel, atau Bengaok.

"Ada perubahan nilai di warga saat ini, mereka lebih logis," katanya.