Malam makin larut, embusan angin malam makin kencang. Daun-daun bergoyang selaras, kelihatan demikian indah dalam keremangan. Tetapi, ke-2 mata ini tangkap satu kejanggalan yang tidak pernah kutemui awalnya.
Saya lihat seorang wanita yang menggandeng anak kecil. Mereka kenakan pakaian yang sama, putih yang lusuh.
Saya ingin lari, tapi bangku kayu ini seakan meredam tubuhku. Leherku jadi kaku, serta berasa dingin seakan ada embusan nafas satu orang dari arah belakang. Saya cuma dapat pejamkan mata, dengar suara tangisan anak kecil yang mendesah, minta tolong entahlah pada siapa.
Detik setelah itu, saya mencium aroma busuk yang menusuk. Serta, mendadak saja wajahku terserang percikan. Darah! Tubuhku menggigil waktu mengerti jika wajahku terserang percikan darah. Saya ingin sekali memberontak, tapi rasa-rasanya seperti ada yang mengikat tubuhku di bangku ini.
Embusan angin malam kembali berasa menyerang kulit. Pijar lampu di teras rumah meredup, tidak seperti umumnya. Daun-daun di pohon-pohon yang awalnya mengalun demikian indah menjadi menyeramkan—seperti digoyang oleh kemampuan gaib.
Waktu seakan berjalan melambat. Sampai pada akhirnya, saya lihat rumah kosong di ujung komplek dengan benar-benar jelas. Rumah yang kelihatan jadi membesar, seperti ingin menelanku hidup-hidup.
Sekarang bangku yang kududuki juga berjalan terbawa, membawaku ke satu ruang kecil berdebu—dan ini sangat aneh. Ruang yang penuh dengan sarang laba-laba serta jejak kaki yang berlumur darah.
Ini ialah rumah kosong yang kelihatan demikian besar olehku, beberapa waktu yang kemarin. Serta, nyatanya anak kecil itu ada dalam ruang ini. Ia duduk di atas ranjang dengan urutan punggung yang membelakangiku–hanya memiliki jarak 2 mtr.. Rambutnya terurai, menjuntai ke lantai. Tangannya memanjang, menggerayangi atap ruang.
Ruang kecil seperti sisa terbakar serta rasa-rasanya benar-benar tidak asing bagiku. Namun saat ini berasa tidak sama, kemungkinan karena keadaan ruang yang sudah rusak kronis.
Saya kesusahan ambil napas, rasa-rasanya benar-benar pengap. Serta, makin bertambah makin susah waktu kurasa ada suatu hal beda yang sentuh ujung kakiku.
Tangan anak kecil itu menggerayangi ujung kaki ini, sedang tubuhnya masih duduk di atas ranjang yang sama. Jemarinya perlahan-lahan menggerayangi lututku selanjutnya beralih pada ulu hati. Jari-jarinya terlihat kurus serta pucat, dengan kuku-kuku panjang yang hitam. Kelihatannya tubuhku akan terkoyak waktu dia sukses tembus ulu hatiku serta merobeknya.
Suara gesekan di antara pintu ruang dengan lantai terdengar mengerikan, Pada saat yang bertepatan, ada rasa susah bersatu dengan ketakutan yang membuatku jadi dilema. Rasa-rasanya, saya pernah hidup dalam ruang ini untuk waktu yang lama. Tetapi, saya benar-benar tidak mengingatnya. Kecelakaan dari dua tahun waktu lalu sudah membuatku kehilangan daya ingat.
Waktu pikiranku sedang berupaya mengingat masa lalu itu, datanglah seorang wanita yang kenakan pakaian putih cantung berjalan ke arahku. Mukanya kelihatan tidak asing bagiku. Usianya juga kelihatannya terpaut tidak jauh dari usiaku.
Wanita itu selekasnya mendekat, memegang jemari anak kecil yang terdapat pada ulu hatiku. Mereka menggesekkan kuku-kuku tajamnya pada pakaianku, sampai lepaslah satu-satu kancing bajuku. Serta sekarang tubuhku sangat terasa dingin, karena jemari mereka seluruhnya sudah sentuh kulitku.
Dalam tempo yang bertepatan, badan anak kecil itu mendekatiku—tangannya memendek. Ia duduk di pangkuanku, serta menatapku dengan saksama. Mukanya kelihatan pucat, bibirnya berwarna biru kehitaman—serupa dengan lingkaran kantung matanya.
Anak kecil itu mengalungkan ke-2 tangannya pada leherku, menumpukan kepalanya pada dadaku. Ia memperlakukanku seakan saya ini ialah ayahnya. Saya yang betul-betul ketakutan juga tidak dapat untuk melakukan perbuatan suatu hal. Terkecuali, masih jaga kesadaranku sendiri.
Waktu saya berusaha untuk mengerti semua insiden ini. Mendadak wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku menatapku dengan penuh kesenduan. Ia melepas sentuhannya dari ulu hatiku, menyibukkan tangannya dengan membereskan rambutnya, dengan memakai sisir berwarna coklat.
Saya lihat dengan jelas potongan-potongan kulit kecil yang mengelupas, serta berwarna hitam waktu dia menyisiri rambutnya. Ada gumpalan nanah di wajah samping kanannya. Urat-urat tipis di mukanya juga seakan berjalan, selanjutnya tembus gumpalan nanah itu.
Aroma amis bersatu busuk menyodok ke hidungku. Gumpalan nanah itu sudah pecah. Muka wanita itu makin mengerikan. Semua kulitnya terkoyak, pori-pori pada mukanya mengelurkan darah dan nanah.
Mendadak saja wanita itu menarik anak kecil yang ada di pangkuanku, serta membaringkannya di atas kasur. Wanita paruh baya itu berjalan dengan benar-benar kaku. Tangannya menunjuk mengarah wajahku, sambil mendekatkan mukanya sampai pada akhirnya kami sama-sama bertatapan.
Pupil matanya berlubang serta keluarkan ulat-ulat kecil yang terus saja berjatuhan. Kulihat bayang rasa sedih dari ke-2 bola matanya yang berwarna putih. Wanita itu menganga dengan benar-benar lebar, menunjukkan giginya yang hitam serta tajam. Lidahnya yang terkoyak menjulur teteskan liur di kakiku.
Saya teteskan air mata, seakan rasakan satu rasa sedih yang dirasakannya. Anak kecil yang duduk di atas ranjang itu juga berjalan serta kembali mendekatiku. Ia memelukku dari arah belakang. Sedang wanita di hadapanku berupaya untuk membisikkan suatu hal padaku.
Rambutnya yang panjang terkesiap saat itu juga. Menunjukkan lehernya yang telah membusuk. Ke-2 mataku juga tidak menyengaja memandang satu benda yang menempel pada lehernya. Serta, menjadikanku tidak perduli pada apa yang akan berlangsung padaku.
Ruang ini demikian gelap. Tetapi saya bisa lihat dengan jelas benda itu pada lehernya. Seakan Tuhan sedang memberikan keajaiban. Saya tidak perduli walau wanita itu terus menjilati leherku dengan lidahnya yang busuk menjijikkan itu.
Semua berasa demikian dekat denganku. Saya seperti mengetahui semua. Apa yang pernah berlangsung di antara saya serta mereka?
Kepalaku jadi benar-benar berat. Kelihatannya otakku sedang kumpulkan puing-puing daya ingat waktu laluku semenjak wanita itu membisikkan sesuatu–sesuatu yang tidak bisa kumengerti benar-benar.
Kalung. Saya pernah memakaikan kalung itu pada orang wanita yang pernah kunikahi. Tatapi, tujuh tahun sesudah kami bersama dengan, saya tinggalkan istri serta anakku, karena ada satu pekerjaan yang perlu kupertanggung jawabkan di luar kota.
"Anak kecil ini?" Saya menanyakan dalam batinku sendiri.
Air mata terurai demikian saja dari ke-2 bagian mataku. Ke-2 figur menyeramkan itu juga secara cepat berjalan menjauhiku. Mereka berdiri menghadapku, menyuguhkan senyuman yang demikian manis serta membersamainya dengan lambaian tangan.
Waktu itu, mereka memperlihatkan satu kaset serta radio kecil yang terdapat di atas meja yang telah tidak utuh . Tanpa ada fikir panjang, saya juga selekasnya berdiri serta mencapainya. Hatiku percaya, jika ada suatu hal yang ingin mereka berikan padaku lewat benda itu.
Dengan sigap, saya memutar rekaman pada kaset yang terdapat dalam radio kecil itu. Mendengarkannya dengan saksama.
Saya dengar suara jeritan dan bentrokan antar benda dalam satu ruang. Mereka berteriak, minta tolong pada satu orang untuk mematikan api dan melepas ikatan pada badan mereka.
Tidak lama dari keinginan itu, saya juga kembali dengarkan sumpah serapah untuk satu orang yang membakar mereka. Kelihatannya suara itu ialah suara istriku. Ia bersumpah akan memberi hukuman yang setimpal pada mereka sesudah sukses memberitahuku.
Saya juga menangis penuh penyesalan sesudah dengarkan semua. Istri serta anakku sudah mati. Mereka membunuh keluargaku.
Kupandangi kepergian ke-2 wanita terkasihku. Rasa-rasanya, saya tidak wajar untuk hidup. Tetapi, saya harus membalaskan dendam Ningsing, istriku. Pada mereka, pembunuh yang tidak patut dibiarkan hidup dengan bahagia di atas penderitaan istri serta anakku.
Ningsih, saya akan membalaskan dendam keluarga kita!