News Breaking
Live
wb_sunny

Cerita Hantu Kos

Cerita Misteri Naga di Pulau Jawa, Mengejutkan!

Cerita Misteri Naga di Pulau Jawa, Mengejutkan!

Dalam satu waktu, dalam suatu negeri yang makmur di Pancala utara, seorang raja memerintah dengan belas kasih. Kerajaannya damai serta serasi. Karenanya, seekor naga jadi tertarik hadir serta tinggal di danau dekat istananya. Terdapatnya sang naga lalu membuat ladang-ladang kerajaan teraliri secara baik.

Sebaliknya, kerajaan lawannya, Pancala selatan, diperintah oleh raja yang kejam. Mengakibatkan negara itu kering serta dirundung kemiskinan.

“Perilaku baginda tidak akan membuat naga mana juga ingin memberkati alam,” kata menteri pada sang raja saat mereka pergi memburu serta melalui desa-desa.

Raja juga bertitah akan memberikan hadiah pada siapa juga yang dapat bawa naga di Pancala utara ke kerajaannya. Syahdan, pawang ular mulai menenun mantra pemikat sang naga. Mereka jamin dalam tujuh hari naga akan tiba.

Sang naga rasakan mantra itu serta susah melepaskan diri. Untungnya, seorang pemburu namanya Halaka tinggal di samping danau tempat dia tinggal. Halaka membantunya melepaskan diri dari jeratan mantra. Jadi imbalan, sang naga memberikannya potensi ajaib. Pemburu itu tidak akan tidak berhasil menangkap mangsanya.


Narasi mengenai naga itu buka cerita Pangeran Sudhana serta Bidadari Manohara dalam relief Avadana pada dinding Candi Borobudur.

Menurut John Miksic dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, baik dalam adat Buddha atau Hindu, naga diketahui jadi hewan mistis. Adat Hindu acap menceritakan naga melalui literatur serta kesenian mereka. Sering hadirnya dikaitkan dengan keberkahan.



"Di Borobudur, mereka dilukiskan berbentuk manusia, tetapi di lain tempat mereka akan ada berbentuk asli jadi hewan," catat Miksic.

Kata Naga sebenarnya datang dari bahasa Sanskerta. Makna harfiahnya ular. Tetapi, di Jawa, naga lebih mengacu pada dewa ular. Dalam budaya Jawa Kuno, mereka seringkali terkait dengan air serta kesuburan.

"Mereka bisa saja jahat, bisa saja baik," catat Miksic.

Terdapat beberapa cerita mengenai naga di Jawa. Yang ada dalam pahatan di candi umumnya dikaitkan dengan air amrta atau air kehidupan dalam cerita Samudramanthana.

Pulau Liur Naga di Sumatra

Diceritakan, dewa serta asura berebutan cari air amrta. Nantinya, siapa juga yang sukses memperoleh air itu serta meminum akan hidup kekal.

Konon, air itu ada di fundamen Ksirarnawa atau Lautan Susu. Gunung Mandara yang terdapat di Pulau Sangkha, tidak jauh dari Lautan Susu, lantas dicabut serta jadikan alat untuk mengeduk lautan. Ular naga Basuki digunakan jadi tali yang melilit gunung. Kura-kura Akupa jadi dasar gunung. Ini semua supaya gunung gampang berputar-putar serta tidak terbenam.

Karena itu diaduklah Ksirarnawa. Dewa-dewa menarik ekor sang Naga. Beberapa asura menarik kepalanya.


Dalam arsitektur Jawa Kuno, naga diketemukan pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur, dari era ke-10 sampai 16. Yang paling tua berada di petirtaan Jalatunda di lereng Gunung Penanggungan. Terlihat seekor naga melilit dibagian bawah lingga-lingga semu yang berada di kolam pusat.

Menurut Hariani Santiko dalam "Macam Hias Ular-Naga di Tempat Sakral Periode Jawa Timur", keluar di Jurnal Amerta, itu ialah penggambaran adegan pengadukan Lautan Susu. Naga dilukiskan seperti Naga Basuki yang melilitkan tubuhnya pada Gunung Mandara.

Naga diketemukan di salah satunya candi dalam kompleks percandian Panataran, Blitar. Disebutkan Candi Naga sebab memiliki relief seekor naga besar yang menghiasnya. Sang naga disangga sembilan dewa yang kenakan pakaian eksklusif.

Di kompleks Panataran itu ada juga tiga bangunan yang disangga oleh naga. Ukurannya sangat besar. Tiap bangunan disangga oleh delapan ekor naga.

"Keterikatan dengan narasi Samudramanthana, tidak hanya bangunan disangga naga, pada kaki candi teras ke-3 ada arca Garuda serta kepala Naga Bersayap berlalu seling keliling candi," catat Hariani.


Lantas di Candi Kidal. Hiasan sepasang naga jantan serta betina, kelihatan di ujung pipi tangga candi. Menurut Hariani, hiasan seperti ini tidak pernah diketemukan pada bangunan percandian Jawa Tengah. Macam hias ini ada juga di pintu masuk Candi Jabung di Kraksaan. Candi ini datang dari waktu Majapahit.

Arca kepala naga diketemukan sebagai penjaga pintu bangunan sakral. Contohnya pada pintu masuk Gua Selamangleng di Kediri. Juga di tangga bangunan paling atas Candi Penampihan di Gunung Wilis, sepasang kepala naga jadi jaladwara atau pancuran air.

"Ular-naga dalam beberapa mitologi dipandang seperti simbol air serta dunia bawah," catat Hariani.

Naga ada dalam cerita populer, Angling Dharma atau Aridharma. Pada pembuka cerita, Prabu Aridharma yang sedang memburu di rimba memergoki Nagagini bermesraan dengan ular tampar. Nagagini ialah istri gurunya, Raja Naga.



Sang prabu merasakan tingkah laku Nagini tidak patut. Ia juga menarik busurnya untuk membunuh ular jantan itu. Nagaraja mengucapkan terima kasih pada Aridharma serta menganugerahinya ajian mengerti bahasa binatang.

Siapa Sebetulnya Angling Dharma?

Cerita Aridharma banyak versinya. Diantaranya tergambar juga dalam relief Candi Jago di Malang.

Hariani menerangkan, dalam beberapa mitologi, naga sering dibedakan dengan fisik dari ular biasa. Naga dilukiskan bertubuh semakin besar dari ular biasa. Dia seringkali dilukiskan kenakan mahkota serta perhiasan yang lain. Terkadang berkaki empat.

Beberapa naga dipandang 1/2 dewa. Dia dipandang penyangga bumi. Contohnya ular-naga Anantabhoga, ular Sesa, ular Basuki.


Sanghyang Antaboga dalam versus pewayangan.
Kitab Udyogaparwa, Agastyaparwa, Tantu Panggelaran, serta Korawasrama bercerita naga. Dalam Udyogaparwa diceritakan naga ada di Saptatala. Agastyaparwa dari era ke-11 menyebutkan ular-naga serta kura-kura menyokong bumi. Tantu Panggelaran menjelaskan Sang Hyang Anantabhoga ialah fundamen bumi. Serta Korawasrama dari era ke-16 mengemukakan jika Pulau Jawa disangga oleh Badawang Nala (kura-kura) serta Anantabhoga.

"Dari rincian naskah didapati rumah naga berada di dunia bawah (patala). Karena itu naga dipandang seperti penyangga bumi," catat Hariani.
loading...
//t+1);for(let r=0;r

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment